Previous Episode: Cerita Prof Iwan
Next Episode: Hamper vs Parcel

adi sampai sekarang setelah bertahun-tahun sekolah mengambil spesialisasi dokter anak, masih aja ada yang namanya kenapa mengambil pediatrik. Sebenernya valid sih memang pertanyaannya, karena buat orang yang kenal aku sejak jaman kuliah dulu, tau kalo pas kuliah aku gak begitu tertarik lanjut pendidikan dokter spesialis, karena saking bingungnya mau ngambil spesialis apa begitu banyak pilihannya. waktu dulu dalam pikiranku, daripada bingung mau ngambil spesialis apa, mending setelah lulus dokter nanti bakal lanjut S2 ambil PhD lalu kembali ke kampus untuk mengajar. Jadi gini yang namanya sekolah kedokteran itu terbagi dua, dari 5 tahun kuliahku dulu, 3,5 tahun dihabiskan untuk kuliah layaknya mahasiswa fakultas lain. dan kira-kira 1,5 tahun kita praktek langsung menghadapi pasien di rumah sakit, sering dikenal luas sebagai yang namanya koas. Dalam waktu 1,5 tahun itu, koas akan dirotasi di departemen spesifik dari cabang ilmu kedokteran, mulai dari departemen besar seperti bedah, obgyn, penyakit dalam, dan anak, sampai ke departemen yang lebih kecil seperti anestesi, forensik, dan lain sebagainya. Waktu rotasi itu selain digunakan para koas untuk belajar langsung menghadapi pasien yang mengalami masalah kesehatan sesuai dengan departemen terkait, dipakai juga oleh koas untuk mengira-ngira, menjajaki, kira-kira nanti setelah lulus dan bekerja, akan mengambil spesialis di bidang apa. Waktu itu sebagai koas aku blank gak punya ide pasti mau lanjut apa untuk spesialis nanti. Kejadiannya selalu begini, di departemen mana aku jalani stase koas, di departemen itu lah aku merasa masa depanku memanggil. Lewat stase obgyn, pengen jadi SpOG, lewat stase forensik, pengen jadi dokter di labfor POLRI, dst dst, kecuali saat melewati salah satu stase di waktu-waktu pamungkasku menjalani koas, yaitu stase ilmu kesehatan anak. Kenapa? karena stase anak itu, hm, how to put it delicately, traumatik. Di stase anak inilah aku harus menghadapi banyak hal yang sebisa mungkin dihindari oleh seorang dokter, anak-anak yang berhenti nafasnya, bayi-bayi yang setiap saat berubah kondisinya, harus diperhatikan dan diawasi ketat menit-per-menitnya, orang tua yang terus-terusan menangis dan panik minta ditenangkan. Pak, bu, bukan cuman bapak dan ibu, kami disini juga butuh ditenangkan, kami pun ikut panik dan menangis. Melelahkan sekali. Dalam sejarah 30 tahun-an aku hidup, baru sekali aku sakit sampai harus dirawat inap di rumah sakit semingguan lebih, dan itu adalah saat stase anak. Janjiku waktu itu satu, apapun spesialisku nanti, aku tidak akan mengambil spesialis anak. Dan layaknya janji manis mereka yang hobinya ninggalin kita pas lagi sayang-sayangnya, janji pun tinggalah janji, look at me now. Ada di tahun terakhir menjalani pendidikan dokter spesialis anak. Soon, jika Tuhan masih memberikan umur, Insya Allah, I will be dr. Kurniawan Satria Denta, Sp.A. That’s kinda surreal if I may say. Dan bukan aku saja, teman-teman terdekatku pun tidak kalah herannya. Why Denta? Kenapa Pediatrik? Alasan utamanya? Mungkin karena terbiasa. 5 tahun terakhir sebelum aku melanjutkan pendidikan, pekerjaanku berhubungan erat dengan dunia kesehatan anak, membuatku menjalin banyak relasi dengan dokter-dokter anak. Saat itu, pola pikir dan motivasi mereka tertular juga padaku. Menjadi dokter anak berarti berusaha sekeras mungkin, berkontribusi sebanyak mungkin untuk memastikan, bayi-bayi yang lahir dari rahim ibu pertiwi kita adalah generasi terbaik. Generasi yang baik berarti bangsa yang lebih baik. Dan buatku, itu adalah motivasi yang cukup untukku lanjut ambil pediatrik. Aku sudah terlalu banyak mengambil dari bumi ini, sudah terlalu banyak salah yang muncul dari ketidaksempurnaanku, kelalaianku, kecerobohanku. Mungkin ini saatnya membayar semua yang semesta berikan dengan tekad, untuk generasi yang lebih baik, lebih kuat, lebih sehat. Aku bagi cerita ini  disini siapa tau kamu bersedia untuk mendoakanku juga, memberikan semangat. Dari jauh tidak apa-apa, sekelebatpun tak mengapa. Terima kasih sahabat. Salam

Hosted on Acast. See acast.com/privacy for more information.