Previous Episode: Berpikir Dewasa

Menjadi kehendak Tuhan, bagaimana kita meneruskan kasih-Nya kepada orang di sekitar kita. Dan itu bisa terjadi dalam hidup kita kalau kita mematahkan, mematikan, membuang ego, keinginan-keinginan kita sendiri, dan menggantikannya dengan keinginan-keinginan Tuhan. Tentu tidak sekaligus kita bisa berubah. Ini perlu proses. Tidak bisa satu hari, tidak cukup satu bulan, bahkan satu, dua tahun, tetapi... Continue reading →

Menjadi kehendak Tuhan, bagaimana kita meneruskan kasih-Nya kepada orang di sekitar kita. Dan itu bisa terjadi dalam hidup kita kalau kita mematahkan, mematikan, membuang ego, keinginan-keinginan kita sendiri, dan menggantikannya dengan keinginan-keinginan Tuhan. Tentu tidak sekaligus kita bisa berubah. Ini perlu proses. Tidak bisa satu hari, tidak cukup satu bulan, bahkan satu, dua tahun, tetapi lewat proses panjang yang akhirnya kita bisa berkata, “Hidupku bukan aku lagi, tetapi Kristus yang hidup di dalam aku.”


Tetapi kalau kita tidak mulai bergerak, tidak mulai berubah sejak sekarang, maka kita tidak akan pernah bisa mengenakan kehidupan Yesus di dalam diri kita. Itu berarti kita tidak pernah layak disebut sebagai anak-anak Allah, karena anak-anak Allah adalah gelar yang terhormat. Hanya orang-orang yang benar-benar memenuhi syarat sebagai anak-anak Allah dengan mengenakan sifat-sifat anak Allah yang layak menjadi anak-anak Allah. Ironis, selama ini begitu murahnya sebutan itu. 


Kalau kita mengenakan sifat-sifat Anak Allah, maka di situlah baru kita bisa menjadi seorang yang menggerakkan perasaan Allah. Perasaan kita sinkron dengan perasaan Allah, kita memperhatikan dan mengasihi orang lebih dari filosofi orang pada umumnya. Kalau kita lihat anak perempuan, kita bayangkan itu anak kita. Kalau kita lihat anak laki-laki, seakan-akan itu anak kita. Lihat orang tua, bayangkan dia papa mama kita. Dengan begitu kita bisa memiliki belas kasihan, tapi itu masih standar dunia. Tentu itu baik, tentu itu berharga dan baik di mata Bapa. Tapi lebih dari itu, Tuhan menghendaki kita menggerakkan perasaan kita sesuai dengan perasaan Allah. 


Kita mengenakan perasaan Tuhan, sehingga ketika kita melihat seseorang, kita menerjemahkan perasaan Tuhan untuk orang tersebut. Kalau orang bercita-cita mau menjadi dokter, insinyur, politisi, pejabat tinggi, mengapa kita tidak bercita-cita menjadi anak-anak Allah? Kesalahan umum yang terjadi adalah seakan-akan gelar anak-anak Allah itu sudah kita miliki secara otomatis. Dan ini kesalahan yang bisa fatal. Orang menganggap bahwa dirinya sudah menjadi Kristen, menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat, maka otomatis dia menjadi anak-anak Allah. Sehingga tidak perlu diperjuangkan, karena itu sudah melekat secara otomatis. 


Biasanya, orang mengambil dasar dari Yohanes 1:12-13, “Siapa yang menerima-Nya, diberi kuasa supaya menjadi anak-anak Allah.” Yang kita terima itu bukan Yesus yang kita akui secara status sebagai Tuhan dan Juru Selamat. Namun, yang kita terima adalah firman atau logos. Logos itu metonimia Allah yang jika diserap, dikenakan dalam hidup, maka “orang mengalami kepenuhan Allah.” Yesus mengalami kepenuhan Allah karena logos masuk dalam daging-Nya Yesus. Kepenuhan akan Allah bukan hanya dialami oleh Yesus, melainkan juga dapat dialami orang percaya. Sehingga sifat-sifat Allah merasuk di dalam diri kita. 


Kalau sifat-sifat Allah merasuk dalam diri kita, jelas kita menjadi anak-anak Allah; satu gen dengan Allah, seperasaan dan sepikiran dengan Allah. Itulah sebabnya di dalam firman Tuhan kita menemukan bahwa orang percaya akan dimuliakan bersama-sama Yesus. Jadi, menjadi Kristen itu luar biasa. Kalau orang pada umumnya menolong sesama karena ada perintah: “Tolonglah dia, perhatikan dia.” Tapi kalau pikiran perasaan Allah merasuk di dalam diri kita, maka itu sudah menjadi irama kita secara otomatis. Tanpa kita memerintahkan diri kita untuk mengasihi orang, otomatis kita mengasihi. 


Kita tidak mungkin bisa mencuri, tidak mungkin kita bisa membenci, kita tidak bisa berzina, tidak bisa menyakiti orang, karena menjadi kodrat, dan itulah yang disebut sebagai moralitas kesucian Allah. Jadi yang penting, apakah hidup kita telah mengenakan pikiran perasaan Allah, sudah menjadi anak-anak Allah yang meneruskan kasih ini kepada sesama? Meneruskan bukan karena kita mendapat perintah, bukan karena ada aturan, melainkan karena kita punya naluri. Naluri tersebut telah dilahirkan dari pergumulan terus-menerus di mana logos mengisi hidup kita, sehingga kepenuhan akan Allah ada dalam hidup kita.


Kita bisa dimuliakan bersama-sama dengan Tuhan Yesus kalau kita dipenuhi firman; kalau kita menjadi anak-anak Allah yang layak disebut anak-anak Allah karena memiliki sifat-sifat Allah. Jadi, yang dimuliakan tidak banyak, sebab hanya orang-orang yang benar-benar memiliki sifat-sifat Allah. Itulah sebabnya firman Tuhan mengatakan, “Banyak yang dipanggil sedikit yang dipilih, banyak orang berusaha masuk tapi tidak masuk.” Jadi kata “selamat” yang kita pahami tidak boleh hanya kita pahami sekadar masuk surga. Keselamatan yang kita miliki adalah perubahan untuk benar-benar mengenakan manusia sesuai gambar dan rupa Allah. Dan untuk itu, seluruh hidup kita harus disita untuk proyek ini.